Sabtu, 23 Februari 2008

Pengalaman di Jepang


Pekerja asal Jateng Itu Rajin dan Ulet
Jepang terus menggeliat dalam era globalisasi. Dulu, Amerika Serikat (AS) memimpin perkembangan teknologi. Tapi, ketika teknologi dunia memasuki era digitalisasi, Jepanglah yang leading. Banyak pengamat yang mengungkapkan, Jepang sebagai negeri maju berbasis kekuatan budaya. Wartawan Suara Merdeka Adi Ekopriyono, 10-19 November mengunjungi negeri tersebut bersama rombongan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Tengah. Berikut laporannya.
SIAPA bilang anak-anak muda Indonesia kalah dibandingkan dengan anak-anak muda dari negeri lain? Kekalahan itu hanya mitos yang dibesar-besarkan. Ingin bukti? Datanglah ke Kosai, Shizuoka, kota kelahiran taipan besar Jepang, perintis industri raksasa, Toyota Motor Corporation, Kiichiro Toyoda.
Di kota ini, seratus lebih anak muda dari Jawa Tengah bekerja di berbagai perusahaan. Mereka adalah tenaga magang (kenshuusei) dan praktik kerja (jisshuusei), peserta program kerja sama Kamar Dagang dan Indutsri (Kadin) Jateng dan Kadin Kosai.
Di kota itu, para pekerja dari Jateng terkenal sebagai pekerja keras, rajin, ulet, pintar, dan tidak banyak menuntut. Itulah kelebihan mereka dibandingkan dengan tenaga-tenaga kerja dari Brazil, China, Filipina, dan beberapa negara lain.
Setidaknya itulah yang diungkapkan pimpinan pusat pelatihan (kunren senta), Katayama Yoshio. Pusat pelatihan kerja milik pemerintah daerah Kosai, itu menjadi tempat para kenshuusei Jateng belajar mengenai dunia kerja di Negeri Sakura. Budaya, bahasa, dan keterampilan-keterampilan bekerja di perusahaan Jepang.
Latihan Kerja Keras
Program magang tersebut dimulai 14 tahun silam, dirintis oleh Ir Budi Santoso, yang saat itu Ketua Kadin Jateng. Pada tahun-tahun awal, jumlah lulusan SMA (sebagian D-3 dan S-1) yang dikirim hanya 17 orang, sekarang bertambah menjadi 36 orang per tahun.
Sebelum berangkat ke Jepang, calon kenshuusei masuk program pendidikan dan pelatihan di lembaga dan asrama Hikari-NBP (Hikari NihonGo Bunka Puroguramu), Jl dr Wahidin, Semarang. Mereka juga harus lulus tes kemampuan bahasa dan pengetahuan budaya Jepang, matematika dasar, wawancara, keterampilan, dan lain-lain.
Selama empat bulan, dengan pengawasan penuh mereka dididik dan dilatih secara intensif dalam kelas bahasa dan budaya Jepang. Hikari-NBP juga mempersiapkan mereka dengan pelatihan mental, fisik, dan kedisiplinan. Ini perlu, karena setelah di Jepang mereka akan mengikuti pelatihan dengan sistem kerja keras Jepang yang membutuhkan kedisiplinan tinggi, serta menghadapi empat musim yang memerlukan ketahanan fisik dan mental yang kuat.
Setelah masuk Jepang, anak-anak muda Jateng itu mengikuti pendidikan dan pelatihan di kunren senta. Mereka belajar bahasa, terutama listening dan budaya Jepang selama tiga bulan. Muh Rifai dari Semarang dan Didik Widianto (Ungaran), yang keduanya masih sekitar tiga minggu berada di Kosai, mengaku masih beradaptasi dengan iklim. Saat ini Jepang memasuki musim gugur, dengan suhu udara antara 10-17 derajat Celcius. Dingin.
Jangan heran, dua pelajaran penting yang mereka dapat adalah tata cara naik sepeda dan membuang sampah. Mengapa? Karena sepeda akan menjadi alat transportasi utama mereka pulang-pergi dari apartemen ke tempat kerja.
Mengapa sampah? Karena Jepang menerapkan sistem pembuangan sampah dengan sangat teratur dan ketat. Ada pemisahan sampah logam, plastik, sampah basah, sampah kering, yang harus dibuang di tempat sampah sesuai dengan tiap-tiap kategori. Jadi, wajar kalau kota-kota di Negeri Sakura ini selalu bersih.
Setelah itu, anak-anak muda Jateng tersebut mulai melakukan pelatihan kerja paroh waktu di perusahaan. Separoh hari sisanya masih mengikuti pelatihan di kunren senta. Sebulan kemudian, baru mereka bekerja penuh.
Dalam tahun pertama, setiap kenshuusei peserta program Kadin mendapat gaji 90.000 yen (sekitar Rp 7,2 juta) per tahun. Separohnya (45.000 yen) ditabung di perusahaan. Mereka juga mendapat tunjangan untuk asuransi kesehatan dan apartemen, termasuk biaya listrik dan air.
Tahun kedua dan ketiga, gaji meningkat, mencapai antara 200.000 sampai 250.000 yen (Rp 16 juta ñ Rp 20 juta) per bulan. Mereka juga berhak lembur di luar jam kerja dengan tambahan pendapatan cukup menggiurkan, karena status sudah bukan magang lagi, melainkan peserta kerja praktik (jisshuusei).
Nurudin, seorang pekerja di Kyoto dari Karanganom Klaten, mengaku mendapat uang lembur 1.760 per jam (sekitar Rp 1,4 juta). Tidak mengherankan kalau dia mampu membeli satu hektare sawah di desanya, senilai sekitar Rp 250 juta. Dulu, Nurudin adalah peserta magang program International Medium Man-power (IMM) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Kenshuusei peserta program Kadin, setelah tiga tahun bekerja di Jepang mendapatkan sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat bahasa Jepang dari Pemerintah Jepang. Pada akhir program itu, mereka juga menerima uang hasil tabungan dari perusahaan, senilai 45.000 yen dikalikan 12; jadi 540.000 yen, kira-kira Rp 43,2 juta. Beberapa kenshuusei mengaku pada akhir program bisa membawa pulang ke Indonesia lebih dari Rp 200 juta.
Keunggulan tenaga-tenaga kerja dari Jawa Tengah (dan Indonesia pada umumnya) mendorong makin banyak perusahaan Jepang yang membutuhkan mereka.
Sekretaris Kadin Izumi, Osaka, Hashimoto Takatsugu misalnya, mengharapkan makin banyak lagi kenshuusei dari Jateng. Itulah sebabnya, Kadin Jateng pun berusaha memenuhi kuota pengiriman tenaga kerja magang sebanyak 90 orang per tahun. Langkah yang ditempuh antara lain dengan merintis kerja sama baru dengan Kadin Izumi dan Kyoto.
Seorang pengusaha di Kyoto, Akihisa Yamamoto menyambut baik rintisan itu. Di perusahaannya, Nichiyu Electric Lift Truck, yang memproduksi suku cadang forklift, dia mempekerjakan enam tenaga kerja Indonesia; lima di antaranya dari Jawa Tengah, seorang dari Bali.
Niat Berwirausaha
Sebagian besar kenshuusei dan jisshuusei bekerja di perusahaan-perusahaan yang memproduksi suku cadang kendaraan bermotor dan mesin-mesin industri.
Sebagian anak-anak muda Jateng itu ternyata bercita-cita membangun usaha sendiri kalau program selesai dan pulang ke Indonesia. ''Dengan modal yang terkumpul di sini; modal uang dan pengalaman, saya berniat membuka usaha sendiri, berwirausahalah,'' kata Aji dari Semarang, ketika saya temui di apartemennya, di Kosai. Tahun ini ia kembali ke Tanah Air.
''Berapa rupiah modal yang telah Mas Aji kumpulkan? Rp 150 juta, Rp 200 jutaÖ?'' tanya saya.
''Wah, ya lebih ta Mas!'' kata Eko, yang meninggalkan bangku kuliah di Fakultas Sastra Unnes dan memilih ikut program Kadin. Eko sendiri, masih setahun lagi menyelesaikan program itu, dan juga ingin menjadi wirausahawan kalau sudah pulang.
''Kami juga ditawari bekerja di anak perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Tapi, nampaknya lebih baik berusaha sendiri dengan modal yang ada,'' katanya.
''Mengapa tidak ingin melanjutkan bekerja di Jepang saja, kan bayarannya besar?'' tanya saya lagi.
''Nggak ah Mas. Di sini itu untuk cari duit saja, jangan selamanya. Kerja di sini seperti mesin; monoton dan disiplin keras. Sehari-hari ketemu orang yang sama, masalah yang sama, bahkan makan dan ke wc pun bersama-sama, karena jadwalnya bareng dan ketat,'' katanya.
Berbeda dari Aji dan Eko, Tuban dari Pemalang masih menimbang-nimbang akan berusaha sendiri atau melanjutkan kerja di anak perusahaan Jepang di Jakarta. Tuban juga masih harus merampungkan programnya setahun lagi.
Untuk mengantisipasi peluang kerja bagi para peserta program yang kembali ke Tanah Air, Ir Budi Santoso sudah menjalin hubungan dengan beberapa perusahaan di Indonesia untuk dapat merekrut mereka. ''Beberapa pengusaha sudah menyatakan siap menampung mereka, dengan gaji sesuai dengan standar keterampilan,'' katanya.
Tapi, bagi yang ingin membangun usaha sendiri, Budi juga menyambut baik, karena hal itu akan mengembangkan semangat kewirausahaan dan ikut memberi kontribusi dalam mengurangi pengangguran.
Sejalan dengan itu, Direktur Hikari-NBP, Agrita Puriani pun mengharapkan, dengan modal yang diperoleh selama tiga tahun di Jepang para kenshuusei mampu mengembangkan usaha sendiri di daerah masing-masing. (60)


sumber : SUARA MERDEKA

1 komentar:

Hendy Krismanto mengatakan...

Sudah terlambatkah kiranya saya mengelulas program ini yang telah berjalan bertahun2 lalu,,
sekedar ingin ikut gabung ke jepang:::::\
Saya Hendy Krismanto
'anak semarang juga " mau ikutan lo
klo temen 2 mau membantu sekedarnya kerja di jepang .....

cari modal ..he he he...

dpt beli rumah ...dll

apakah masih ada kesempatan lagi mas...sedangkan ini kan masih krissi global....13 Januari 2009

+ peminatnya juga banyak..saingan untuk merantau juga banyak ....

apakah bisa bantu.....

tolong kasih..tanggapan ke rico_tarantula@yahoo.com