Sabtu, 23 Februari 2008

Keren Kan Hemm...


Berlandaskan Tradisi, Raih Modernisasi
KALAU di banyak negara tradisi merupakan hambatan kemajuan, atau persisnya hambatan modernisasi, maka tidak begitu dengan Jepang. Negeri Sakura ini justru dengan modal tradisi mampu masuk era persaingan global yang penuh nuansa modernisasi-kapitalistik. Maka, sangat masuk akal kalau Robert N Bellah pun menyatakan bahwa bukan protestanisme saja yang mampu membangkitkan semangat kapitalistik suatu bangsa. Pendapat Bellah itu sebagai antitesis Max Weber yang sebelumnya berpendapat bahwa kapitalisme muncul dari etika protestan.

Masyarakat Jepang membuktikan, tradisi justru bisa dijadikan landasan kokoh bagi pengembangan modernisasi, bahkan kapitalisasi. Kenyataan bahwa masyarakat Negeri Sakura ini mampu menjadi kekuatan industri yang maju, menggambarkan kehebatan kearifan-kearifan lokal (local wisdom) mengatasi arus globalisasi yang sangat Barat (western). Kearifan lokal itu tidak terkalahkan oleh penetrasi nilai-nilai Barat, sebaliknya menjadi kekuatan transformatif yang dahsyat.


Tradisi justru menjadi fasilitator kemajuan. Dengan tradisi, mereka mencapai Jepang yang modern seperti dicita-citakan oleh para samurai. Mereka memersepsi dan menerapkan tradisi tidak secara kaku, sehingga jangan heran kalau Anda pergi ke sana melihat anak-anak muda berdandan seperti layaknya anak-anak muda di New York, London, atau Paris. Pakaiannya trendi, rambutnya dicat merah, dengan gestur yang modernis.

Tapi, juga jangan heran, kalau di jalan-jalan Anda masih bisa melihat satu-dua orang yang mengenakan kimono. Itulah potret perpaduan antara niat untuk maju mencapai prestasi (need of achievement) dan spirit mempertahankan budaya lokal. Saya membayangkan, di benak mereka terpikir semangat ''saya modis, bahkan kapitalistik, tetapi saya adalah orang Jepang!''

Tidak Beragama?

Sikap dalam keberagamaan pun tidak jauh berbeda. Mungkin di antara mereka penganut Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, namun tradisi merupakan hal yang mereka pegang teguh. Walaupun Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, tetapi mereka tetap memegang tradisi sebagai landasan hidup.

''Orang Jepang itu sepertinya tidak beragama, Mas. Saya tidak pernah melihat mereka sembahyang, berdoa, atau melakukan ritual keagamaan. Apalagi anak-anak mudanya. Kalau yang tua-tua sih mungkin ada,'' kata seorang pekerja magang (kenshuusei) kepada saya. Pernah ada survei yang menyebutkan, di Jepang hanya satu di antara empat orang, yang percaya agama.

Jepang adalah contoh negara yang memisahkan antara agama dan budaya. Bagi mereka, agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Itulah sebabnya, dalam bisnis pun mereka tidak pernah membawa-bawa nama agama, tapi melandasinya dengan tradisi yang kuat. Contoh konkretnya adalah menjunjung tinggi kepercayaan (trust), disiplin, dan orientasi kualitas, yang ditopang oleh spirit kerja keras (bushido) dan semangat harga diri (samurai) seperti yang saya singgung dalam seri ke-2 laporan ini. Begitu pula budaya malu, sehingga tidak jarang mendorong seorang pejabat melakukan harakiri (bunuh diri) ketika terungkap melakukan korupsi.

Saya kira, ketertiban dan kebersihan dalam penataan kota pun dipengaruhi oleh budaya malu itu. Malu kalau membuang sampah sembarangan, malu kalau berbuat tidak terpuji, malu kalau tidak menghasilkan prestasi, dan seterusnya.

Silakan pembaca membandingkannya dengan keadaan kita di Indonesia. Masih adakah budaya malu di antara kita? Masih adakah orientasi kualitas yang melekat dalam pikiran kita? Bukankah kita sering berbuat kebalikannya; melanggengkan kekuasaan meskipun korup, melakukan distorsi kualitas demi kepentingan pribadi (vested interest)?

Ah, tapi sungguh saya tidak bermaksud melecehkan bangsa sendiri, karena sebenarnya bangsa kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang lebih hebat dari Jepang. Hanya saja, kita belum piawai mengelolanya dengan baik, belum pintar mengembangkannya menjadi kekuatan manifes sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sayang memang!

Perpaduan antara tradisi dan spirit kapitalistis itu misalnya saya rasakan pada jamuan-jamuan makan dengan para pengusaha. Hampir semua jamuan itu diselenggarakan secara tradisional, dengan setting tatami (mungkin bisa diistilahkan sebagai lesehan), minum teh hijau (ocha), sake, makan ikan-ikan mentah (shusi), dan makanan tradisional lainnya. Pokoknya Jepang banget!

Makanan-makanan ala Amerika memang ada, seperti McDonald dan Kentucky Fried Chicken, tetapi dominasi tetap ada pada makanan-makanan tradisional. Apresiasi terhadap tradisi yang sangat kuat itulah yang nampaknya membuat Jepang hebat. Jadi, tidak perlu heran kalau makanan-makanan tradisional mereka pun go international. Restoran Jepang ada di mana-mana, makanan Jepang masuk di berbagai negara di dunia.

Suami Dijatah

Jepang memang berhasil memanfaatkan tradisi menuju modernisasi. Tapi tidaklah benar kalau dikatakan tidak ada pengikisan budaya lokal itu oleh globalisasi. Kesan ini misalnya saya peroleh dari beberapa informasi tentang peran perempuan (atau tepatnya istri) dalam rumah tangga.

Maaf kalau sekali lagi saya menyebut nama Nurudin; seorang pekerja di Kyoto asal Klaten yang menikahi perempuan Jepang. Dia adalah contoh pelaku yang merasakan perubahan nilai-nilai tradisi Jepang.

''Perempuan Jepang sekarang, tidak sama dengan perempuan Jepang generasi-generasi dulu. Kalau dulu mereka dikenal sebagai istri yang mengabdi penuh kepada suami, sekarang tidak persis seperti itu,'' katanya.

Istri-istri dari generasi masa kini tidak lagi melepaskan sepatu suami yang baru pulang dari kantor seperti istri-istri Jepang masa lalu. ''Tapi kalau gaji suami tetap sama dengan masa lalu, tetap ditransfer ke rekening istri. Suami hanya dijatah tiap bulannya,'' kata Nurudin yang sudah dikaruniai dua anak itu.

''Tapi sampeyan kan bisa cari duit lanang ta?íí tanya saya.

''Bisa mas. Maka, sepulang kerja saya memasok bahan-bahan makanan Indonesia untuk orang-orang Indonesia yang tinggal di sini,'' lanjutnya. Dari usaha sambilan itu, setidaknya ia bisa mengumpulkan uang sekitar 100.000 yen tiap bulan (sekitar Rp 800.000).

''Istri tahu tentang duit lanang itu?íí tanya saya lagi.

''Tahu, tapi tidak apa-apa, karena di sini itu biasa. Pokoknya, uang gajian suami itu memang menjadi hak istri, untuk keperluan anak-anak dan kebutuhan keluarga. Suami mendapat jatah dari istri. Nah, kalau ingin pemasukan tambahan ya harus cari sambilan,'' katanya.

Relasi suami-istri model Jepang seperti itulah yang kemudian sering memunculkan gurauan tentang suami Jepang: ''di rumah seperti kelinci, di luar rumah seperti macan''. Mengapa? Karena dijatah oleh istri. Makino, seorang pengusaha besar di Kosai pun mengiyakan gurauan tersebut.

Beberapa orang yang saya temui menjelaskan, filosofi ''jatah-menjatah'' itu berasal dari tradisi bahwa tugas suami memang mencari uang untuk menafkahi anak-istri. Adapun tugas istri adalah berbakti, mengabdi kepada suami. Jadi, semacam keseimbangan; prinsip timbal-balik.

Repotnya, tidak jarang yang sekarang adalah: gaji suami tetap ditransfer ke rekening istri, tapi tugas mengabdi belum tentu berjalan sesuai harapan. Timbul ketidakseimbangan. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup yang makin materialistis dan pragmatis. Lagi-lagi, inilah pengaruh globalisasi yang kapitalistik.

Perubahan nilai-nilai tradisi itu juga diakui pula oleh Ny Ita, perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki Jepang dan sekarang menetap di Tokyo. Dia adalah pemandu kami dalam kunjungan delegasi Kadin Jateng. ''Memang ada pergeseran nilai-nilai seperti itu. Ibu mertua saya misalnya, sampai sekarang masih menerapkan prinsip-prinsip pengabdian seorang istri kepada suami. Dia masih melepaskan sepatu suaminya. Tetapi, saudara ipar saya yang berusia lebih muda tidak lagi seperti itu,'' katanya.

Kenyataan itulah yang nampaknya mengubah pemeo zaman dulu, yaitu: ''kalau ingin bahagia, menikahlah dengan perempuan Jepang, makanlah masakan China, dan tinggal di Amerika''. Maknanya, perempuan Jepang itu kalau menjadi istri akan mengabdi penuh (ngabekti) sehingga suami bahagia; masakah China itu lezat, dan Amerika itu paling nyaman sebagai tempat tinggal karena demokratis.

Terlepas dari tradisi yang kuat, toh masyarakat Jepang tetap saja ''terseret'' arus global. Hanya saja, ''keterseretan'' itu tidak separah dibandingkan masyarakat-masyarakat lain di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka masih mampu memanfaatkan nilai-nilai lokal (local genius) sebagai landasan untuk maju. Dalam konteks pemikiran John Naisbitt (dalam Global Paradox) inilah yang disebut think globally, act locally; berpikir global, bertindak lokal. (Adi Ekopriyono-62)

Tidak ada komentar: