Sabtu, 23 Februari 2008

Cerita di Negeri Orang Pinter and Kaya



Kepercayaan, Disiplin, dan Kualitas
SEMBILAN hari tentu bukan waktu yang cukup untuk mengenal lebih dalam tentang budaya kerja Jepang. Tapi, setidaknya selama kunjungan di Negeri Sakura, itu saya dapat mencocokkan teori-teori yang ada di buku atau di bangku kuliah dengan kenyataan yang ada.

Kesan-kesan tentang budaya kerja itu, saya peroleh dari ngobrol dengan para pengusaha sambil minum teh dan menikmati ikan mentah atau belut bakar. Juga saya dapatkan dari wawancara dengan para pekerja Jawa Tengah di apartemen dan pabrik-pabrik.

Secara garis besar, terdapat tiga faktor yang menonjol dalam budaya kerja Jepang, yaitu kepercayaan (trust), disiplin, dan kualitas. Tiga faktor inilah yang nampaknya menopang sukses Negeri Sakura. Ketiganya dilandasi oleh dua semangat besar, yaitu kerja keras (bushido) dan harga diri (samurai). Wajar, kalau ada kegagalan, maka yang menanggung malu bukan organisasi atau perusahaan, melainkan para pekerja yang merasa kehilangan harga diri.

Ilmuwan Francis Fukuyama mengungkapkan, trust merupakan modal utama bisnis Jepang. Menurut dia, kepercayaan bermanfaat dalam ekonomi karena menekan biaya. Dalam bisnis, faktor ini mengurangi kebutuhan untuk merumuskan kontrak berkepanjangan, menghindari situasi tidak terduga, mengurangi konflik, dan kebutuhan proses hukum seandainya terjadi konflik.
Jadi, trust mengurangi biaya dan waktu yang sering dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal. Kepercayaan membantu orang bekerja sama dengan lebih efektif, karena mereka lebih mementingkan kelompok daripada kepentingan individu.

Tanpa Kesepakatan Tertulis

Kebenaran tesis Fukuyama itu saya temukan ketika mengunjungi Sahara Industries Co, Ltd, di Kosai. President perusahaan penghasil suku cadang mobil itu, Koichiro Sahara menjelaskan, tidak ada nota kesepakatan tertulis (MoU) dengan perusahaan-perusahaan besar yang dipasoknya. ''Bisnis kami hanya berdasarkan kepercayaan dan kualitas,'' katanya.

Menurut pemimpin perusahaan keluarga itu, yang penting dia dapat menjamin kualitas produk. Setiap setengah tahun sekali, perusahaan besar melakukan audit kualitas terhadap produk yang dihasilkan perusahaannya. Sepanjang kualitas bisa terjamin, maka relasi bisnis pun lancar. Tapi begitu kualitas tidak bisa diandalkan putuslah hubungan bisnis itu.

Kepercayaan dan kualitas telah melandasi hubungan bisnisnya sejak 1967. ''Tahun 2006, angka penjualan kami mencapai 846 juta yen. Tahun depan kami berencana memperluas pabrik," kata Sahara yang mempekerjakan lima tenaga magang Jawa Tengah, dari 50 tenaga kerjanya. Produk yang dihasilkannya antara lain klakson, sensor temperatur air, dan perkakas pintu mobil.

Dari berbagai sumber, saya memperoleh informasi, Jepang menerapkan sistem produksi tepat waktu (just in time). Filosofi dasarnya adalah memperkecil kemubaziran (eliminate of waste), baik dalam waktu, material, maupun manajemen. Efisiensi, efektivitas, dan produktivitas sangat menentukan, karena mereka tidak memiliki sumber daya alam yang berlebihan.

Tujuan sistem produksi ini adalah kualitas terbaik, ongkos termurah, dan waktu pengiriman yang tepat. Itulah prinsip yang dikenal sebagai QCD (quality, cost, delivery). Pengendalian kualitas dilakukan dengan sistem total quality control (TQC) untuk mencapai nol kesalahan (zero defect).

Sahara menjelaskan, yang penting dalam bisnis adalah jaminan kualitas (quality assurance). Itulah sebabnya, ia benar-benar menjaga kualitas produknya, agar jalinan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar tetap terjaga baik. Bagi dia, jaminan kualitas adalah segala-galanya.

Budaya kerja keras itu diakui oleh hampir semua peserta program kerja magang Kadin Jateng yang saya temui. ''Kerja di sini seperti robot! Tapi baik untuk latihan, agar kami bisa bekerja keras dan disiplin. Bekal yang bagus untuk bekerja di Indonesia,'' kata mereka.

Satu hal lagi, yang diakui oleh mereka adalah manajemen kerja Jepang tidak memperlakukan karyawan sekadar sebagai faktor produksi. Para pengusaha berusaha mengangkat harkat pekerja, sehingga merasa menjadi bagian dari perusahaan. Maju mundurnya perusahaan adalah maju mundurnya pekerja sebagai stakeholder yang penting. Selain dari pengakuan pekerja, kesan ini pun saya rasakan dalam berbagai kesempatan pertemuan.

Itulah sebabnya, tidak mengherankan kalau Nichiyu Yamamoto, seorang pengusaha di Kyoto, berhasil membina 15 tenaga kerja Indonesia untuk membangun usaha sendiri di Surabaya. ''Kami selalu menjalin hubungan baik dengan mereka, meskipun mereka sudah pulang ke Indonesia dan berhasil mendirikan usaha sendiri. Kami senang kalau lebih banyak lagi tenaga kerja Indonesia yang berhasil membangun usaha sendiri, karena itu berarti kami bisa melakukan transfer of knowledge dan transfer of technology," katanya.

Spirit Samurai

Tidaklah berlebihan kalau saya katakan, Jepang memang cermin yang tepat bagi bangsa kita: Indonesia. Bangsa, yang oleh beberapa pengamat sosial, bukan hanya mengidap penyakit lowtrust society melainkan distrust society; masyarakatnya mengidap krisis kepercayaan yang menjadi-jadi. Dalam kondisi seperti itu, mustahil kita mampu bangkit dari ketertinggalan.

Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat sejarah Jepang. Singkat kata, kemajuan Jepang berkaitan dengan spirit samurai. Menurut buku-buku sejarah, proses modernisasinya muncul sejak Restorasi Meiji (awal abad ke-19). Saat itulah para samurai menghendaki lahirnya Jepang yang modern.

Restorasi Meiji sukses, setelah melewati masa perang (jengoku jidai) zaman Tokugawa (sekitar abad ke-15 sampai 17). Setelah selesai era peperangan itu, Jepang mengalami masa damai sekitar 200 tahun, yang menjadi modal besar untuk mendidik bangsanya.

Pada masa-masa itulah, para samurai mengabdikan diri, mendidik anak-anak orang kaya, terutama kelas pedagang.

Untuk diketahui, masyarakat Jepang ketika itu memang berkelas-kelas; tertinggi adalah kelas samurai, kemudian kesatria, pedagang, petani, dan beberapa kelas lagi di bawahnya.

Modal itulah yang kemudian mendukung Restorasi Meiji. Sang kaisar mulai mengirim anak-anak muda untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Mulai muncul cerita, anak-anak muda Jepang yang ''mencuri'' ilmu, kemudian mengembangkannya lebih baik dari aslinya.

Pengembangan keilmuan (hasil ''mencuri'') itu kemudian melahirkan bangsa Jepang yang sangat maju di bidang teknologi, terutama sejak dunia memasuki era digitalisasi.

Seperti diungkapkan dalam teori ''angsa terbang'' (the flying geese), yang menggambarkan bahwa perkembangan dunia teknologi pada awalnya dipimpin oleh Amerika Serikat; ibarat angsa besar yang terbang paling depan, diikuti oleh angsa-angsa lain.

Pada saat dunia diterpa teknologi digital, mulailah Jepang ''menabrak'' Amerika dan ganti terbang paling depan. Nah, benar kan! Sekarang Jepang leading dalam teknologi digital dibandingkan dengan negara-negara lain. Pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah, ''mencuri'' ilmu itu baik, asalkan dikembangkan dan melebihi ilmu aslinya.

Kepercayaan, disiplin, dan kualitas, tidak hanya bisa dilihat di perusahaan-perusahaan, melainkan juga hampir semua tempat di Negeri Sakura. Di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah, restoran-restoran, hotel-hotel, jalan-jalan, dan tempat-tempat umum yang lain. Di stasiun dan restoran misalnya, mereka dengan sangat disiplin antre untuk mendapat tiket KA atau memesan makanan.

Kereta api atau bus umum, selalu tepat waktu, bahkan dengan jadwal yang mungkin agak janggal di benak kita, misalnya berangkat pukul 14.37, tiba pukul 17.42. Artinya, bagi mereka waktu sangat berharga, bahkan dalam hitungan detik. Berbeda dari kita, yang seringkali kurang menghargai waktu, menoleransi ''jam karet'', atau kalaupun memperhitungkannya ya hanya dalam hitungan jam.

Kedisiplinan itu pula yang menyebabkan orang Jepang tertib dalam manajemen pengelolaan sampah. Sampai-sampai saya pun bingung setiap akan membuang sampah; selain karena tempat-tempat sampahnya yang sangat bagus (jangan bayangkan seperti tong sampah kita yang berceceran dan dikerubungi banyak lalat), juga karena pemisahan antara sampah kaleng, plastik, sampah basah, sampah kering, dan seterusnya. Kebingungan itu masih ditambah lagi dengan tulisan-tulisan huruf kanji.

Di balik semua itu, Jepang memang berhasil memadukan kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai global, menjadi kekuatan dahsyat dalam persaingan internasional. (Adi Ekopriyono-62)
sumber : SUARA MERDEKA

Tidak ada komentar: