Senin, 27 Oktober 2008

Hujan di Balik Jendela


Diam-diam saya sering mengamati perilaku putri saya saat hujan tiba. Jika kami sedang dalam perjalanan, sambil bersama misalnya, itulah saat ia langsung terdiam, memandangi jendela, berlama-lama, tegak lurus di kejauhan. Saya pernah mencoba menggoda dan ia marah luar biasa. Sejak itu saya percaya pada tebakan saya: anak ini pasti sedang menikmati situasinya. Mudah saja saya menebak karena saya sendiri mengalami perasaan yang sama. Bedanya anak ini sekarang menikmati dari jendela mobil pribadi, sementara bapaknya dulu cukup dari jendela kereta murahan dan bus-bus omprengan, yang semua terasa sebagai kemewahan.


Seperti anak ini, dari balik jendela, saya juga terbiasa memandang jauh. Seluruh tulisan yang bekelabat saya baca dalam hati, seluruh pemandangan, sawah gunung, awan-awan, titik air, pepohoanan, saya rekam, saya simpan dalam ingatan dan saya semayamkan dalam hati, hingga hari ini. Seluruh film yang saya tonton, seluruh musik yang saya dengar, seluruh konser yang saya lihat, sulit menandingi rekaman keindahan di dalam hati saya ini. Jika kenangan itu kembali saya munculkan, tubuh saya seperti mengambang di lautan awan dan jiwa saya mekar ke horizon terjauh, ke kaki langit nun di sana yang saya tak paham batas-batasnya. Saya seperti mengikuti jagat saya yang secara teori memang melar terus saban hari menuju ke jarak terperi.

Apalagi saat itu, sejak kelas dua SD, saya mulai jatuh cinta dengan gadis tercantik di kampung saya. Ia satu-satunya gadis yang kecantikannya telah menggemparkan seluruh desa, yang popularitasnya telah melebar ke desa-desa tetangga. Siang malam saya mabuk dibuatnya. Dan di setiap perjalanan itu, apalagi ketika hujan tiba, wajahnya berpendaran di seluruh titik air. Ke manapun mata saya memandang, jatuhnya ke wajahnya juga. Inilah periode jatuh cinta paling luar biasa dalam hidup karena seluruhnya cuma birisi keindahan. Inlah periode platonik itu, yakni tahapan cinta ketika ia belum berurusan dengan pertengkaran, dengan bayar SPP anak, mencuci ompol dan harus tegang menghadapi kenaikan harga-harga.

Itulah periode ketika imajinasi manusia melayang dengan kemerdakaan penuh. Dan itulah tradisi yang mengubah sejarah dan peradaban manusia. Hampir tidak ada pengetahuan yang tidak dilahirkan dari imajinasi. Dari sains hingga ketuhanan. Ketika melihat apel Jatuh Newton menemukan gravitasi, saat Ibrahim melihat bulan dan matahari tenggelam ia mulai menemukan Tuhan yang lebih tinggi. Karena itulah saya mulai mengerti pernyataan Einstein bahwa imajinasi jauh lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan.

Maka saat melihat anak saya sedang menatap hujan itu, saya ingin memberi ruang yang terbuka untuk kemerdekaannya. Biarlah ia lakukan penjelajahan yang keindahannya hanya dia sendiri yang tahu. Tabungan keindahan itu nyaris tak terhinga, dan cuma imajinasi yang sanggup mengakomodasi. Kata-kata terlalu muda untuk menjelaskan seluruh kerumitannya.

Melihat putri saya terdiam, saya juga ikut terdiam, tetapi benak kami pasti penuh dan sedang bersama-sama dalam penjelajahan. Satu titik air di benaknya, pasti akan berpendaran ke seluruh jiwanya. Satu kelebat pohon, akan memantulkan ribuan bayangan. Segumpal awan pasti akan mengembang menjadi kasur busa seluas jagat raya. Dan itulah ekstase artisitik itu. Mabuk keindahan tanpa harus didongkrak oleh pil-pil perangsang. Saya pernah berbincang dengan mantan penembak jitu. Jika ia sedang ingin membidik kepala lawan, ia akan menenggak pil tertentu. Makin penuh hati seseorang dengan dendam dan kebencian, makin agresif pil ini mengambil peran. "Dan kepala lawan, akan tampak sebesar bukit," katanya.

Tetapi pil-pil semacam ini sungguh tidak diperlukan jika tujuannya cuma untuk mendatangkan kegembiraan. Keindahan dan kegembiraan adalah sesuatu yang sederhana. Untuk datang, ia cukup diberi ruang dan dimerdekakan. Bantulah siapa saja mulai dari anak-anak Anda, anggota keluarga tetangga dan siapa saja yang membuthkan untuk memiliki ruang-ruang itu. Maka akan banyak sekali jiwa di sekitar Anda yang akan menjadi sehat dan gembira.

Sumber : Suara Merdeka


Tidak ada komentar: